Senin, 28 Januari 2013

Balada Nuntun Berjama'ah

Kalau ada gelar "Warga Surabaya Bermotor yang Paling Sering Kehujanan", bolehlah aku menjadi nominasi pemenangnya, karena setiap kali hujan, setiap kali itu pula aku menerjangnya, dengan atau tanpa jas hujan.

Sekalian berbagi tips nih kalau lagi kehujanan tapi lupa bawa jas hujan, namun kita lagi bawa tas yang isinya tentu jangan sampai basah. Nah karena aku sering berada dalam kondisi itu, biasanya aku langsung melepas jaketku, kemudian kujadikan bagian badan jaketku penutup tas, terus lengannya kuikatkan di tas, sehingga jaketnya "nyabuk" ke tas, meski hal ini beresiko membuat pengendara motor masuk angin, tapi mana ada sih hal yang tanpa resiko?

Hari ini, hujan deras lagi, sekitar setelah ashar, aku yang terlalu sering kehujanan, memilih kali ini untuk undur diri dari menerpa angin kencang dan air yang bertubi-tubi, aku memilih menunggu di sekolah sampai tidak terlalu deras. Sekitar dua jam aku menunggu hujan mereda, sambil berbincang ria dengan alumnus sekolahku, namun hujan tak kunjung reda.

"Daripada gak pulang?" pikirku pada jam lima sore,
"Wes budal, alhamdulillah bawa jas hujan.." begitu kata sisi nekat hatiku,
"Jang...."
"Gak usah didengerin :p" dan sisi nekatku pun menang.

Aku pun memakai jas hujanku, dan mulai menggeber motorku. Jam lima sore tak sederas setengah empat sore, mungkin separuh derasnya. Dan, keluarlah aku dari wilayah sekolahku.

Menyusuri jalanan Surabaya pada waktu hujan kali ini berbeda, yang biasanya pemandangan tak begitu jelas karena tubian air yang menyerbu mata begitu dahsyat, namun kini air nampak lebih bersahabat, hanya kali ini terjadilah genangan air besar yang biasa kita sebut banjir.

Di sepanjang jalan luar tempat parkir belakang SMAN 2 Surabaya (sekolah tetangga), air pun memenuhi, meski tak setinggi betis kaki, namun cukup bisa menyipratkan tinggi jika dilewati motor atau mobil berkecepatan tinggi. Sehingga di sana aku memelankan motor, agar tak membasahi dan dibasahi orang lain, karena memang benar, yang kau tanamlah yang akan kau tuai.

Sampai di Delta Plaza, jalan masih lancar, tidak ada halangan berarti, hingga sampai di Monumen Bambu Runcing, di sini mobil sudah berjajar banyak, motor pun mulai memadat. Aku yang mencoba menyelip pun kesusahan, dan ternyata tak hanya di jalan utamanya saja yang macet, ketika aku memilih untuk belok kanan, menuju jalan yang lebih cepat ke Jalan Basuki Rachmat, ternyata jalan itu macet juga. Biasa aja sih, gak buat stress, dinikmati saja, masa' nikmati hidup hanya waktu punya uang waktu dan tenaga?

Dan Jalan Basuki Rachmat, ke Tunjungan Plaza, sampai Jalan Embong Malang, genangan air mencapai semata kaki hampir setengah betis, dan kepadatan mobil meningkat, motor pun lebih sulit berkelit. Dan sampai pada Jalan Embong Malang, setelah gedung outlet U.F.O. maka banjir di sana mencapai sebetis, dan banyak pengendara motor memilih untuk berkendara di atas trotoar, berhubung jalan juga dipenuhi mobil. Butuh waktu lama untuk menunggu sampai ke perempatan terdekat, dan memanfaatkan waktu itu, alhamdulillah tidak kugunakan untuk ngomel-ngomel atau iseng bunyiin klakson, buat apa coba? Alhamdulillah hafalan quran mengalihkan penat hatiku, kalau ada kesempatan menghafal quran, gak pantas menurutku merasa nganggur.

Lalu sampailah aku pada tikungan ke kiri menuju Jalan Kedungdoro, di sana banjir telah mencapai betis namun sedikit lebih tinggi, segera aku menuju ke kanan jalan yang cenderung lebih dangkal, agar sepatu yang aku letakkan di pijakan kaki sepeda (aku menggunakan motor matic) tidak terendam air, dan alhamdulillah strategi mencari tempat dangkal berhasil, sepatuku tidak terkena atau bahkan terendam air. Pada awalnya aku hendak putar balik di jalan itu agar aku bisa melewati Jalan Patua yang realtif tidak macet, namun aku teringat bahwa jika aku lewat Jalan Patua maka sama saja aku merendam diri, karena memang sudah "tradisi" di sana bahwa banjirnya bisa sampai sepaha, dan akhirnya aku tak lewat sana. Wawasan akan keadaan sekitar sangat penting untuk meraih manfaat terbesar dan menghindari kerugian.

Kemudian aku memilih untuk tetap menyusuri jalan Kedungdoro yang sangat macet dan penuh itu, cukup lama perjalananku, dan berhubung aku mencari jalan cepat namun aman dari banjir, maka aku putar balik di putaran yang untuk meraihnya membutuhkan waktu  yang lama, kemudian mengambil jalan ke Petemon Barat. Meskipun aku tahu, daerah ini sebenarnya sangat rawan banjir, tapi aku merasa lebih nyaman daripada menunggu macet lama, dan alhamdulillah daerah Petemon Barat banjirnya tidak tinggi. Motor masih bisa melaju lancar tanpa knalpot terendam air, dan sepatuku masih selamat pula. Dan seketika aku terlupa akan ketidakenakan macet, memang benar, nikmat yang lebih besar bisa membuat cobaan jadi tak terasa lagi.

Lalu aku tiba pada sebuah jalan lurus panjang yang menuju pada sebuah perempatan oasis, aku menyebutnya perempatan oasis bukan karena dia banyak air, namun sebaliknya, karena di perempatan itulah banjir tak lagi berbekas alias kering ring ring ring. Namun, yang menjadi misteri adalah air setinggi apa yang akan aku temui di jalan panjang itu?

Seiring kususuri jalan panjang itu, air menjadi seperti tangga, well, pertama aku temui yang semata kaki, ya santai saja berkendara di air yang dangkal, pelan, tenang, lembut, alhamdulillah pengendara lain juga begitu sehingga tak terjadi basah-membasahi. Kemudian sebetis, kemudian selutut, dan mulai gawat, sepatuku sudah terkena air, aku hanya bisa, yah mau diapakan lagi? Namun alhamdulillah air tidak masuk di knalpotku, sehingga motorku tidak mogok. Dan seiring mendekati perempatan oasis, aku rasakan airnya semakin tinggi, dan aku menyadari dalam kondisi itu aku tak mungkin kembali putar balik yang justru akan menghabiskan waktuku, dan memang terkadang kita menghadapi masalah yang mau tidak mau kita harus hadapi karena kita tak bisa menghindari, sehingga yang menjadi pilihan untuk kita adalah, menghadapi masalah itu dengan bijak atau sebaliknya.

Sret! Segera aku mengambil sepatuku dengan kedua tanganku, karena hampir saja sepasang sepatu ini hanyut terbawa air yang ternyata sudah sepahaku! Para pengendara motor sudah ada yang gugur, sepedanya termasuki air, dan ada pula yang  masih bertahan. Aku termasuk yang masih bertahan, well, separuh bertahan, motorku agak terseok, meski aku tetap memaksa maju, dan qaddarullah wa maa syaa-a fa'al, apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, air terlalu tinggi, hingga ia merendam knalpot sepedaku. Wis gak usah neko-neko, tanpa macam-macam, segera aku menuntun sepeda tanpa turun darinya, alias dengan posisi duduk yang sama hanya dengan kaki seperti mendayung saja.

Dan di momen ini lah aku menemukan momen indah,

Aku melihat ke depan, bahwa di depan sana banyak yang menuntut motor sama sepertiku, aku menuntun sambil melihat kiri kanan, melihat ekspresi orang-orang yang senasib denganku, terkadang aku menyapa beberapa yang pandangannya bertemu denganku, "alhamdulillah pak, nuntun berjama'ah! haha". Dan entahlah, aku menuntun dengan riang, dan tidak capek sama sekali, apa karena pengaruh kebersamaan yang bahkan tak disadari? Mungkin, dan aku tetap menuntun sampai oase. Dan selain penuntun sepeda, banyak juga anak-anak jalanan yang membantu orang-orang yang menuntun sepeda dengan dorongan di belakang, benar-benar romantis dalam dimensi yang sungguh berbeda.

Hingga aku sampai oase, perempatan oase, dan benarlah di sana banjir telah tuntas, namun pemandangan langka masih belum habis, di sana berjajarlah puluhan sepeda motor yang mengeluarkan air dari knalpotnya, alhamdulillah motorku begitu mudah mengeluarkan airnya.

Dan baru kali ini aku melihat air yang muncrat dari knalpot, sebuah pemandangan unik dan lucu tersendiri bagiku. haha. Dan sampai di oase berarti jarak rumah telah dekat, dan alhamdulillah akhirnya aku tiba di rumah dengan selamat.

Sepatuku? Basah! Semoga besok kering. :)

Alhamdulillahilladzii bini'matihi tatimush-shoolihaat
19:55:55, 28 Januari 2013
di kamar mbak yang lagi ama suaminya di kalimantan

Variabel

Akhir-akhir ini sering menggunakan kata variabel untuk menjelaskan dua hal yang berbeda namun sering dijadikan hal yang sama, dua hal yang terpisah namun sering dijadikan bertautan.

Kurang suka dalam keterpautan yang tak harus terpaut, atau kesatuan yang tak cocok. Aku tak suka ngglambyar alias kabur, aku ingin tegas memisahkan, seperti sebuah garis tipis di antara minyak dan air. Setipis apapun, tetaplah memisahkan, sekabur apapun garis pemisahnya, tetap harus dipisah, tetap harus dikatakan terpisah, berbeda, tak berkaitan.

Misalnya,
ada orang yang membahas tentang kronologi tertembaknya mahasiswa Triksakti pada tahun 98 lalu, tiba-tiba ada yang berkata bahwa semuanya salah Pak Soeharto.

Menanggapi orang seperti itu, biasanya aku katakan, "mohon tolong ya, itu variabel yang harus kita singkirkan dulu dari pembahasan, kita membahas variabel lain dalam rangkaian reformasi".

Atau banyak hal lain, sering aku timpali dengan, "maaf, variabelnya berbeda, kita pisah dulu."

Entahlah.