Keramaian
kota, mobil-mobil berbaris di jalan, menunggu gilirannya maju, klakson-klakson
dibunyikan oleh beberapa yang kalah oleh marah, sepeda motor yang menyelip
tiba-tiba di depan sebuah mobil menjadikan jalan raya sebuah arena ketegangan
tersendiri yang lebih menegangkan daripada ujian sekolah. Manusia-manusia sliwar-sliwer di trotoar, selagi
menenteng barang-barang hasil belanjanya, dengan perempuannya yang memiliki
hiasan kerlap-kerlip di lengannya, bahkan ada yang tak malu perlihatkan
auratnya (seakan berkata, “Hei, ini kecantikanku untuk siapa saja, silakan
nikmati!”), sedangkan para lelaki, banyak yang tak peduli akan pakaiannya,
seakan hanya wanita yang perlu diatur pakaiannya, dan kata-kata kotor banyak
mewarnai jalan. Bercampur semuanya menjadi satu di trotoar, bahkan ada sepasang
yang bermesra menggunakan seragam sekolahnya, lengkap dengan atribut
almamaternya.
Subhanallah, ketika mengingat bahwa
Indonesia adalah negara berjumlah penduduk muslim terbesar di dunia, kemudian
melihat kenyataan yang terjadi dalam lingkungan sekitar, ironi rasanya. Tentu
tak selayaknya sebuah negeri dengan penduduk muslim terbesar di dalamnya
terjadi fenomena-fenomena yang kering akan Islam, akan tetapi kenyataan wajib
kita terima, bagaimanapun keadaannya. Timbul sebuah pertanyaan, mampukah kita
bertahan?
Haruskah
Bertahan?
Ingat bahwa hati kita
senantiasa menjadi medan perang sebagaimana sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam,
"Fitnah-fitnah itu
menempel ke dalam hati seperti tikar (yang dianyam), sebatang-sebatang. Hati
siapa yang mencintainya, niscaya timbul noktah hitam dalam hatinya. Dan hati
siapa yang mengingkarinya, niscaya timbul noktah putih di dalamnya, sehingga
menjadi dua hati (yang berbeda). (Yang satunya hati) hitam legam seperti
cangkir yang terbalik, tidak mengetahui kebaikan, tidak pula mengingkari
kemungkaran, kecuali yang dicintai oleh hawa nafsunya. (Yang satunya hati)
putih, tak ada fitnah yang membahayakannya selama masih ada langit dan
bumi." (Diriwayatkan
Muslim)
Tentu kita tak ingin hati kita
menjadi hati yang tak kenal kebaikan dan menyuburkan kemungkaran. Karena
gelapnya hati adalah modal dari segala keburukan.
"Dan apakah orang yang
sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang
terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?" (Al-An'am: 122).
Lantas bagaimana kita mampu
bertahan? Tidak lain adalah dengan menambah noktah-noktah putih pada hati kita,
yang tidak lain adalah iman. Ya, imanlah yang kita butuhkan di zaman yang
sedang carut marut ini, ketiadaan iman akan mengakibatkan ketiadaan pribadi
muda karena tenggelam dalam arus dahsyat keburukan. Ketiadaan iman yang akan
membuat semua hal diterjang, mulai merokok, mencicipi minuman keras hingga
ketagihan, dan bahkan melakukan perzinahan sebelum menikah, kemudian merambah
lagi terhadap ketidakpercayaan akan keadilan Allah ketika ditimpa musibah, dan
terlupanya akan Allah ketika nikmat menerpa, maka shalat hanya ucapan, puasa
hanya menahan, maka kita saat itu bukan lagi manusia yang dicintai Allah, maka
keselamatan dari mana yang akan kita raih ketika kita tidak dicintaiNya?
Iman bertambah dan berkurang,
bertambah dengan sebab, berkurang dengan sebab pula. Apa yang membuat iman kita
mampu tumbuh subur di hati?
Pertama,
Mengenal Allah
Mengenal Allah akan Nama-nama
dan Sifat-sifatNya dan menancapkan penghayatannya di hati kita akan menumbuhkan
iman dengan sangat subur pada hati kita, sebagaimana kata seorang ulama, “Barangsiapa
semakin mengenal Allah akan semakin takut kepada Allah.” Takut akan berbuat
hal-hal nista, takut terjerumus dalam jurang maksiat.
Semisal, jika kita benar
menghayati bahwa Allah Mahabijaksana (al-Hakim), maka tentu dengan seluruh
ketentuan Allah hati kita rela dan tenang, baik ketentuan secara syari’at yaitu
aturan agama maupun secara kejadian yang terjadi di alam ini, karena kita
yakin, bahwa Allah tak akan berlaku zholim, dan seluruh ketentuanNya memiliki
hikmah yang indah.
Kedua,
Membaca Ayat-Ayat Allah
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. al-Anfâl [8]: 2)
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
berkata, “Ketahuilah bahwa kuatnya agama dan iman tidak mungkin diraih kecuali
dengan banyak membaca al-Qur’an atau mendengarkannya dengan penuh renungan dan
dengan niat untuk mengamalkan perintah dan menjauhi larangannya.”
Ketiga,
Menuntut Ilmu Syar’i
Ilmulah yang menunjukkan kita
pada kebaikan, dan menunjukkan kita akan keburukan, dan tanpa meraih ilmu itu,
kita tak akan tahu kebaikan sehingga kita tak mampu meraihnya, dan tak akan
tahu keburukan sehingga kita akan mudh terjerumus di dalamnya. Maka ilmu sangat
penting, agar kekokohan kita di Jalan Allah tetap terjaga.
Keempat,
Berteman dengan Teman yang Baik
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)."
(QS. At Taubah: 119)
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang
jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika
engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau
minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak
mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya
yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa)
“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya,
perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (HR. Abu
Daud, Tirmidzi. Syaikh al-Albani mengatakan Shahih)
Mari
Kita Berjuang, Bersama!
Yakinlah, bahwa kita pemuda Islam
mampu tetap bertahan dan pancarkan sinar Islam yang menerangi kegelapan di
semesta ini, sekaligus menjadi cahaya yang menyalakan cahaya-cahaya yang lain,
hingga akhirnya kita semua kokoh dalam jalanNya, di jalan Allah Ta’ala yang
berujung ke surgaNya, yang di dalamnya terdapat ribuan nikmat yang tak
terbayang di dunia.
“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi
(dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan
dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik
tempat menetap dan tempat kediaman” (QS. Al Furqon: 75-76)
(disalin dari http://muda.kompasiana.com/2013/02/16/tak-tergoyah-dari-jalannya-534204.html)